6.1.12

BERSYUKUR

NAMANYA SYUKUR


Anda wajib mensyukuri apapun yang menimpa anda. Ini bukan masalah keberuntungan.
Bersyukur menuntun anda untuk senantiasa menyingkirkan sisi negatif dari hidup. Orang lain mungkin mengatakan bahwa anda tidak realistis, namun sikap anda jauh lebih realistis, yaitu membebaskan diri anda dari kecemasan atas kesalahan itulah namanya syukur.
Bersyukur mendorong anda untuk bergerak maju dengan penuh antusias. Tak ada yang meringankan hidup anda selain sikap bersyukur. Semakin banyak anda bersyukur semakin banyak anda menerima. Semakin anda mengingkari, semakin berat beban yang anda jejalkan pada diri anda. Kebanyakan orang lebih terpaku kepada kegagalan lalu mengingkarinya. sedikit sekali yang melihat kepada keberhasilan lalu mensyukurinya. Karena, anda tidak akan pernah berhasil dengan menggerutu dan berkeluh kesah. Anda berhasil karena berusaha. Sedangkan usaha anda lakukan karena anda melihat sisi positif. Hanya dengan bersyukurlah sisi positif itu tampak dihadapan anda. Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak.


Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.(tidak bersyukur). Tanpa membuang waktu orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan. “coba minum ini, dan katakan bagaimana rasanya”, ujar pak tua itu. “pahit, pahit sekali” kata sang tamu sambil meludah kesamping. Pak tua itu, sedikit tersenyum, ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ketepi talaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ketepi telaga yang tenang itu. Pak tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, kedalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-ngaduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. “Coba ambil air dari telaga ini, dan minumlah. Saat tamu itu selesai mereguk air itu, pak tua berkata lagi. “Bagaimana rasanya?” “Segar”. Sahut tamu. “Apakah kamu merasakan garam di air itu?”, tanya pak tua lagi “Tidak”, jawab si anak muda. Dengan bijak pak tua itu menepuk-nepuk pungung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh disamping telaga itu.”Anak muda dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang, jumlah dan rasa pahit itu sama, dan memang akan tetap sama. “Tapi kepahitan yang akan kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, Cuma ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu”. Pak tua itu lalu kembali memberikan nasehat. “Hatimu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hati mu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.” Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan pak tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan “segenggam garam”, (bukan untuk membuat sambal tentunya) untuk anak muda yang lain, yang sering datang kepadanya membawa keresahan jiwa. Semoga bermanfaat…